Mitos dan Fakta Seputar Vaksin

Tidak semua informasi seputar vaksin itu benar dan hanyalah mitos. Ini penjelasan dr. Citra Amelinda, SpA, MKes, IBCLC, tentang fakta dan mitos vaksin.

Ketika Anda mencari informasi tentang vaksin, Anda akan mendapatkan banyak berita. Tetapi, tidak semua yang Anda baca itu merupakan fakta. Informasi yang tidak tepat tersebut bahkan dapat membuat orang tua mengurungkan niatnya untuk memberikan imunisasi pada buah hatinya. Padahal, menurut dokter spesialis anak, dr. Citra Amelinda, SpA, MKes, IBCLC, imunisasi penting sekali sebagai ‘pagar’ pelindung anak, terutama anak berusia di bawah 2 tahun.

“Karena penyakit jaman sekarang itu menyeramkan. Jangan sampai penyakit yang dulu sudah berhasil kita kalahkan, akan muncul kembali. Sebenarnya, tidak hanya di Indonesia saja, tapi gara-gara pandemi ini angka imunisasi di seluruh dunia memang turun. Jadi, muncul lagi penyakit campak yang tadinya sudah jarang ditemui,” jelas dr. Citra pada Online Workshop di WhatsApp Group Parentstory Community, berkolaborasi dengan ZAP Health beberapa waktu lalu. Memang salah satu contoh penyakit yang sudah berhasil ‘dikalahkan’ oleh vaksin adalah campak. Citra mengatakan, penyakit ini menyulitkan sekali, dan mudah sekali menular. Gejalanya ditandai dengan demam tinggi lebih dari 39 derajat Celcius selama 2 minggu disertai diare, sesak napas, dan bisa menyebabkan radang otak.

Karena itulah, dr. Citra menganjurkan para orang tua untuk mengimunisasi anaknya secara lengkap, baik imunisasi yang wajib maupun yang anjuran. “Kalau sudah telat, tidak apa-apa, bisa susulan. Nanti dokter yang mengatur jadwalnya. Cari tempat imunisasi yang tetap menjaga protokol physical distancing. Cara terbaik menjaga kesehatan anak di masa pandemi ini adalah memberikan nutrisi yang baik, kasih sayang, dan benteng daya tahan tubuh melalui imunisasi,” ungkap dokter yang aktif di Instagram dengan akun bernama @citra_amelinda ini.

Mitos dan Fakta Soal Vaksin

Pada Online Workshop Ask The Expert ‘Mitos dan Fakta Seputar Vaksin’, dr. Citra Amelinda menjelaskan beberapa mitos tentang vaksin yang beredar di masyarakat beserta fakta-faktanya.

Mitos: Vaksinasi menyebabkan autisme.

Fakta: Tidak ada bukti ilmiah antara vaksin MMR atau vaksin lainnya dengan autisme. Penelitian tahun 1998 yang menghubungkan vaksin MMR dengan autisme ternyata tidak valid. Penelitinya, Andrew Wakefield, kemudian terbukti melakukan kecurangan penelitian sehingga diputuskan tidak boleh lagi berpraktik di Inggris Raya oleh General Medical Council 2010.

Mitos: Tidak semua vaksin aman diberikan pada anak.

Fakta: Sebelum vaksin boleh digunakan, vaksin harus melewati serangkaian tahapan penelitian panjang. Setiap batch vaksin dimonitor dengan ketat. WHO terus memantau keamanan vaksin setelah diedarkan dan mengecek setiap kejadian efek samping serius.

Mitos: Menyuntikkan vaksin sekaligus (vaksin simultan) akan melemahkan daya tahan anak.

Fakta: Penyuntikan vaksin sekaligus tidak memengaruhi daya tahan tubuh anak. Setiap harinya, saat makan dan bernapas anak akan terpapar beratus jenis benda asing yang dapat merangsang respon imunitas. Vaksinasi simultan bahkan dapat menghemat waktu dan biaya, serta peluang vaksinasi komplit lebih besar karena tak perlu bolak-balik rumah sakit atau klinik.

Mitos: Vaksin mengandung merkuri.

Fakta: Thiomersal merupakan suatu jenis ethylmercury, yang berguna sebagai pengawet vaksin. Namun, hanya sedikit vaksin yang mengandung Thiomersal. Sementara itu, merkuri merupakan zat yang alamiah ditemukan di dalam Thiomersal yang digunakan pada vaksin. Jumlah penggunaannya sangat sedikit dan tidak membahayakan kesehatan.

Mitos: Penyakit tidak akan menyebar jika menjaga kebersihan dan sanitasi yang tepat.

Fakta: Infeksi tetap dapat menyebar walaupun sudah melakukan protokol kebersihan. Tanpa vaksinasi, penyakit langka seperti polio dan campak akan muncul kembali.

Mitos: Vaksin hanya melindungi anak dari penyakit yang tidak serius.

Fakta: Meski penyakit yang bisa dicegah melalui vaksin bukan merupakan penyakit yang serius, namun hal tersebut dapat menimbulkan komplikasi penyakit lainnya. Vaksin dapat mencegah anak terkena penyakit menular yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi bahaya, seperti radang otak, kebutaan, pneumonia, bahkan kematian. Anak yang tidak divaksin memiliki risiko yang besar untuk terpapar penyakit yang seharusnya bisa dicegah. Biaya vaksin juga jauh lebih murah daripada harus dikarantina, dan berbagai pembatasan fisik lainnya.

Mitos: Lebih baik sakit, kemudian menjadi kebal, daripada diimunisasi.

Fakta: Kekebalan yang diberikan vaksinasi dapat menyerupai imunitas yang dibentuk karena infeksi alamiah. Harga yang harus dibayar setara dengan:

  • Retardasi mental akibat Haemaphillus influenza tipe B
  • Cacat bawaan akibat infeksi rubela kongenital
  • Kanker liver akibat virus hepatitis B
  • Kematian akibat campak.

Mitos: Orang-orang zaman dulu belum mendapat vaksin, namun tetap berumur panjang.

Fakta: Sebelum ditemukan vaksin campak, lebih dari 90% penduduk dunia terkena campak sebelum berusia 10 tahun. Satu dari 1000 kasus campak bersifat fatal, dan yang selamat, umumnya menderita komplikasi serius. Karena itu, lebih baik mencegah daripada mengobati.

Mitos: Anak yang divaksin menjadi lebih sering menderita alergi, penyakit autoimun, dan gangguan pernapasan.

Fakta: Vaksin tidak mengubah cara kerja sistem imun selain mengenali antigen penyebab penyakit yang divaksin. Tidak ada hubungan vaksinasi dengan terjadinya alergi, autoimun atau gangguan pernapasan di kemudian hari.

Mitos: Vaksin meningkatkan angka kejadian kanker di seluruh dunia

Fakta: Vaksin tidak menyebabkan kanker. Angka kejadian kanker meningkat akibat perubahan gaya hidup, kondisi lingkungan, serta alat pendeteksi kanker yang semakin canggih, sehingga mampu menghimpun jumlah pasien kanker secara faktual.

Mitos: Vaksin mengandung microchip sehingga pemerintah dapat memata-matai orang yang divaksin.

Fakta: Microchip tidak dapat disembunyikan dalam vaksin. Beberapa jenis vaksin digunakan untuk lebih dari satu orang secara acak. Selain itu, prosedur pembuatan vaksin sangatlah ketat.

Mitos: Vaksin mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti mercury, formaldehyde, dan alumunium.

Fakta: Semua campuran bahan vaksin diperuntukkan untuk keamanan Thimerosal (komponen mercury). Mercury sendiri merupakan zat alamiah yang dapat berada dalam susu, makanan laut, cairan lensa kontak, dan lainnya. Vaksin dosis tunggal mengandung thimerosal yang sangat sedikit. Sedangkan formaldehyde, dapat ditemukan di knalpot kendaraan, produk rumah tangga, furnitur seperti karpet, kosmetik, cat, dan produk kesehatan lainnya. Misalnya, antihistamin, obat batuk, dan mouthwash. Dosis formaldehyde dalam vaksin jauh lebih sedikit dari paparan harian manusia. Perihal alumunium, tidak semua vaksin mengandung aluminium. Jika pun ada, jumlahnya sangat sedikit, yaitu sekitar 0,125 sampai dengan 0,625 mg per dosis. Padahal, rata-rata konsumsi alumunium harian seseorang bisa mencapai 30-50 mg melalui makanan, minuman dan obat–obatan.

Mitos: Anak saya tidak perlu divaksin karena semua anak lain di sekitarnya sudah diberikan vaksin.

Fakta: Kekebalan berkelompok (herd immunity) atau disebut juga imunitas kawanan, hanya terjadi jika sebagian besar populasi divaksin. Wanita hamil, bayi kecil, dan lanjut usia seringkali belum mendapat vaksin. Apabila semua orang mengandalkan orang lain, tidak akan ada kekebalan kelompok.

 

Liputan Media Online
30.06.2020
 
WhatsZAP